Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Latar Belakang Perang Diponegoro

Secara umum perang Diponegoro merupakan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme barat, sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lainnya seperti; Imam Bonjol, Kapitan Pattimura, Dipati Unus, Sultan Iskandar Muda, Sultan Ageng Tirtayasa dan lainnya.

Perang Diponegoro (1825 – 1830)

Pada dikala sebelum Perang Diponegoro meletus, terjadi kekalutan di Istana Yogyakarta. Ketegangan mulai timbul ketika Sultan Hamengku Buwono II memecat dan menggeser pegawai istana dan bupati-bupati yang dahulu dipilih oleh Sultan Hamengku Buwono I.

Kekacauan dalam istana semakin besar ketika mulai ada campur tangan Belanda. Tindakan diktatorial yang dilakukan Belanda menjadikan kebencian rakyat. Kondisi ini memuncak menjadi perlawanan menentang Belanda.

Pangeran Diponegoro (1785 – 1855) ialah putra sulung Sultan Hamengku Buwono III. Sewaktu kecil berjulukan R.M. Ontowiryo, hidup bersama neneknya yang berjulukan Ratu Ageng di Tegalrejo.

Ilmu agama Islam begitu mendalam dipelajari, sehingga membentuk huruf yang tegas, keras, dan jihad.

Perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa. Karena perang meluas dari Yogyakarta ke kawasan lain menyerupai Pacitan, Purwodadi, Banyumas, Pekalongan, Madiun, dan Kertosono.

Secara umum perang Diponegoro merupakan  Latar Belakang Perang Diponegoro
Gambar: Pengeran Diponegoro

Latar Belakang Perang Diponegoro

Berikut ini sebab-sebab umum perlawanan Diponegoro.

1. Kekuasaan Raja Mataram semakin lemah, daerahnya dipecahpecah.

2. Belanda ikut campur tangan dalam urusan pemerintahan dan pengangkatan raja pengganti.

3. Kaum darah biru sangat dirugikan lantaran sebagian besar sumber penghasilannya diambil alih oleh Belanda. Mereka dihentikan menyewakan tanah bahkan diambil alih haknya.

4. Adat istiadat keraton menjadi rusak dan kehidupan beragama menjadi merosot.

5. Penderitaan rakyat yang berkepanjangan sebagai akhir dari banyak sekali macam pajak, menyerupai pajak hasil bumi, pajak jembatan, pajak jalan, pajak pasar, pajak ternak, pajak dagangan, pajak kepala, dan pajak tanah.

Hal yang menjadi lantaran utama perlawanan Pangeran Diponegoro ialah adanya rencana pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo.

Dalam perang tersebut, Pangeran Diponegoro mendapat sumbangan dari rakyat Tegalrejo, dan dibantu Kyai Mojo, Pangeran Mangkubumi, Sentot Alibasyah Prawirodirjo, dan Pangeran Dipokusumo.

Pada tanggal 20 Juli 1825, Belanda bersama Patih Danurejo IV mengadakan serangan ke Tegalrejo. Pangeran Diponegoro bersama pengikutnya menyingkir ke Selarong, sebuah perbukitan di Selatan Yogyakarta.

Selarong dijadikan markas untuk menyusun kekuatan dan seni administrasi penyerangan secara gerilya. Agar tidak gampang diketahui oleh pihak Belanda, tempat markas berpindah-pindah, dari Selarong ke Plered kemudian ke Dekso dan ke Pengasih.

Perang Diponegoro memakai siasat perang gerilya untuk melaksanakan perlawanan terhadap Belanda. Berbagai upaya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Diponegoro telah dilakukan Belanda, namun masih gagal.

Siasat Benteng stelsel (sistem Benteng) yang banyak menguras biaya diterapkan juga. Namun sistem benteng ini juga kurang efektif untuk mematahkan perlawanan Diponegoro.

Jenderal De Kock karenanya memakai siasat tipu tipu daya melalui perundingan. Pada tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro bersedia hadir untuk berunding di rumah Residen Kedu di Magelang.

Dalam negosiasi tersebut, Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditawan di Semarang dan dipindah ke Batavia. Selanjutnya pada tanggal 3 Mei 1830 dipindah lagi ke Manado.

Pada tahun 1834 pengasingannya dipindah lagi ke Makassar hingga meninggal dunia pada usia 70 tahun tepatnya tanggal 8 Januari 1855.


Sumber https://www.berpendidikan.com

Post a Comment for "Latar Belakang Perang Diponegoro"