Koruptor: Penghianat Bangsa! (Refleksi 50 Tahun G 30 S/Pki)
”Perjuanganku lebih gampang lantaran menghadapi bangsa asing, namun perjuanganmu lebih sulit lantaran menghadapi bangsamu sendiri”. Pesan Bung Karno ini serasa benar adanya.
Saat menghadapi bangsa penjajah, seluruh bangsa kita bisa bersatu dan berjuang bersama. Kini, sehabis kemerdekaan berhasil kita genggam, kita harus menghadapi usaha yang lebih berat.
Ini merupakan anutan Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution (alm) dalam bukunya Pokok-pokok Perang Gerilya. Jenderal besar ini juga mengatakan, memakai kekuatan militer untuk melawan bangsa sendiri apalagi mereka mempunyai alasan yang pantas untuk tidak puas kepada pemerintah sentra merupakan problem bagi TNI.
Penyelesaian konflik yang disebabkan ketidakpuasan politik, ideologi, ekonomi, dan sosial tidak bisa
semata hanya diselesaikan oleh operasi militer. Kemenangan menjadi tidak sekadar menghitung jumlah gerilyawan yang ditangkap, tewas, atau menghitung senjata yang disita.
Usai kemerdekaan, sejarah kita memang diwarnai jejeran pemberontakan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan. Mulai dari DI/TII, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan (RMS), PKI, sampai Timor Leste yang risikonya merdeka, GAM dan Papua merupakan formasi akhir ketidakpuasan terhadap pemerintah sentra yang diisi oleh para birokrat yang korup.
Militer menghadapi dilema, ibarat dikatakan A.H. Nasution. Namun, kembali ke kiprah mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka taktik kontra gerilya harus diterapkan melawan gerilya para pemberontak.
Menyenangkan hati rakyat biar berpihak kepada TNI, demikian taktik dasar perang kontra gerilya. Hanya dengan cara ini, perang melawan para gerilyawan yang bersandar pada derma masyarakat sanggup dimenangkan.
Apakah sehabis menang, Tentara Nasional Indonesia masih berpihak kepada rakyat atau tidak, tanda tanya besar masih muncul. (???????????)
Beberapa pemberontakan berhasil ditumpas dengan operasi militer. Walaupun makan banyak nyawa, kenyataannya operasi militer menumpas DI/TII., RMS, dan PRRI/Permesta serta PKI berhasil.
Letjen (Purn) Kemal Idris bercerita, Tentara Nasional Indonesia dulu sangat bersahabat dengan rakyat lantaran Tentara Nasional Indonesia menganggap dirinya kepingan dari rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat.
”Kita mengajak rakyat untuk menghadapi DI/ TII dan PRRI/Permesta,” kata mantan Panglima Kostrad yang sebelumnya menjadi Komandan Brigade VII Siliwangi ketika penumpasan DI/ TII di Jawa Barat.
Senada dengan Kemal Idris, Letjen (Purn) Solihin G.P. mengatakan, Tentara Nasional Indonesia tidak akan bisa menjalankan tugasnya jikalau tidak berintegrasi dengan masyarakat.
Ia juga menceritakan masyarakat bersama tentara melaksanakan Operasi Pagar Betis sehingga pemberontakan Kartosuwirjo sanggup ditumpas sehabis berjalan lebih kurang tiga belas tahun (1949–1962).
Operasi kontragerilya, kata Solihin, pada pada dasarnya yakni memisahkan pasukan dari rakyat. Mantan
Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Letjen Suaidi Marasabessy mengatakan, pemberontakan DI/TII dan PRRI/ Permesta sama metodenya dengan pemberontakan GAM yang memakai perlawanan bersenjata dengan gerilya.
Perbedaan dengan pemberontakan separatis yang lain, GAM banyak menyertakan usaha diplomasi untuk menarik simpati internasional. Tujuannya, internasionalisasi konflik yang menginginkan institusi internasional terlibat.
Untuk itu, Tentara Nasional Indonesia harus sanggup memetakan kekuatan GAM dan rakyat secara spesifik. Di sinilah inti perlawanan terhadap gerilya. Operasi ini dilakukan dengan operasi intelijen, termasuk di dalamnya operasi penggalangan, yaitu bagaimana mendekati rakyat dan memengaruhi pikiran dan emosi rakyat biar berpihak kepada NKRI.
Dalam kasus DI/TII, rakyat menjadi antipati terhadap DI/TII yang setahun sebelum selesai ditumpas mulai menculik, membunuh, dan menyiksa masyarakat.
Menurut mantan Panglima Kodam VII/Wirabuana ini, GAM telah memperlihatkan modus operandi yang sama sehingga secara militer GAM sudah bisa dibilang lemah lantaran menyimpang dari doktrin perang gerilya yang harus bersahabat dengan rakyat.
”Saya ingat bagaimana orang Makassar kaget waktu ada tentara dari Jawa menjadi imam di masjid,” kata pengamat militer Salim Said. Kehadiran Panglima Komando Pemulihan Keamanan Sulawesi Selatan Kolonel R. Sudirman merupakan sosok muslim yang taat cukup berhasil membantah opini yang disebarkan DI/TII.
Saat itu, Kahar Muzakar mengkampanyekan bahwa pasukan yang diperanginya yakni Tentara
Djawa Komunis (TDK). Rakyat Sulawesi Selatan menganggap lawannya sebagai si kafir dari Jawa.
Padahal, berdasarkan hasil penelitian Barbara Sillars Harvey, intelektual dari Cornell University, DI/TII di Sulawesi Selatan dimulai sebagai suatu perselisihan wacana status militer dan tuntutan keadilan.
Para gerilyawan Sulawesi Selatan yang ikut perang kemerdekaan tidak diterima masuk ke dalam Tentara Nasional Indonesia lantaran dianggap tidak memenuhi syarat, ibarat pendidikan formal.
Kahar Muzakar sebagai perwira paling senior menjadi pemimpin para pejuang ini dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Menurut buku Barbara yang berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, fotokopi surat-menyurat antara Kahar dan komandan Darul Islam di Jawa Barat, Sekarmadji Kartosuwirjo, menjadi bukti pengangkatan Kahar sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (TII).
Ideologi Islam diambil Kahar tidak lantaran latar belakang agama semata, tetapi juga pertimbangan derma darah biru yang banyak berjuang ketika itu. Pada bulan September 1952, Operasi Halilintar digelar.
Bersamaan dengan semakin banyaknya putra kawasan memegang banyak sekali jabatan strategis, dan tindakan DI/TII yang banyak memperabukan rumah dan kekerasan kepada rakyat, DI/TII mulai kehilangan pengaruhnya tahun 1962.
Akhirnya, Kahar Muzakar ditembak mati di bersahabat Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965. Untuk mengecoh pemberontak, A.H. Nasution mengirim kawat bertuliskan pengiriman satu batalion, padahal yang dikirim hanya satu kompi RPKAD di bawah Letnan dua L.B. Moerdani.
Dalam pertempuran di luar Pematangsiantar, tewasnya Kopral Sihombing menjadi simbol bahwa perang itu bukan perang Sumatra lawan Jawa.
Hanya dua bulan sehabis proklamasi PRRI 15 Februari 1949, pemerintah risikonya menjalankan Operasi 17 Agustus, dengan Kolonel A. Yani sebagai komandan. Operasi sempat diduga bocor. Namun, A. Yani memutuskan operasi harus jalan terus.
Selanjutnya, Operasi Merdeka dilaksanakan untuk menguasai kembali wilayah Sulawesi Utara. Dukungan Amerika Serikat ketika itu tidak hanya melalui senjata, pelatih, bahkan juga siap serdadu terlatih, salah satu pola populer yakni penerbang asal Amerika Serikat, Allan Lawrence Pope, yang ditembak jatuh di atas perairan Teluk Ambon, 18 Mei 1958.
Usai merebut Pangkalan Udara Mapanget di bersahabat Manado, pasukan Indonesia kerap mengalami hujan tembakan artileri.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. R.Z. Leirissa menyatakan, PRRI/Permesta dipicu oleh lemahnya perhatian pemerintah sentra atas kesejahteraan prajurit Tentara Nasional Indonesia eks pejuang kemerdekaan waktu itu.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati juga mencatat ketidakpuasan ekonomi akhir tata niaga kopra.
Dari pihak Permesta, ada Alex Kawilarang, Zulkifli Lubis, Mauluddin Simbolon, Achmad Hussein, Joop Warouw, dan Ventje Sumual.Sedang dari sentra terdiri atas Akhmad Yani, Rachmat Kartakusumah, Achmad Mokoginta, dan Chandra Hasan.
Leirissa mengungkapkan, jalannya penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta berlangsung tidak setegang operasi militer lain. ”Antara pasukan penumpas dan pasukan gerilyawan itu masih di antara kolega sendiri sesama korps. Jalannya penumpasan berlangsung lebih dengan perundingan-perundingan sehingga konflik senjata dan penumpahan darah terhindarkan,” katanya.
Begitu pun ketika risikonya Ahmad Yani sebagai komandan pasukan penumpas risikonya bisa bertemu, mereka saling mengolok kebodohan lawan dalam menerapkan strategi-strategi perang.
Seorang komandan pasukan pemberontak, misalnya, mengolok cara Yani yang memperlihatkan komando kepada pasukan penumpas dengan bahasa Jawa ketika penumpas bergerak di kawasan Padang, Sumatra Barat.
Tujuannya, supaya pasukan pemberontak yang bukan orang Jawa tidak memahami komunikasi radio itu. ”Eh, ternyata perwira radio pasukan pemberontak berasal dari Solo sehingga taktik Yani bocor,” kata Leirissa.
Dalam biografinya, A.H. Nasution menegaskan, kemenangan operasi militer menumpas agresor yakni kemampuan operasi itu mencapai kemenangan ideologi, sosial-ekonomi, dan psikologi rakyat.
Merujuk hal ini, tentu terlalu dangkal mendefinisikan keberhasilan operasi dari jumlah senjata yang disita atau jumlah gerilyawan yang dibunuh atau ditangkap.
Sumber: www.kompas.com
Sumber https://www.berpendidikan.com
Saat menghadapi bangsa penjajah, seluruh bangsa kita bisa bersatu dan berjuang bersama. Kini, sehabis kemerdekaan berhasil kita genggam, kita harus menghadapi usaha yang lebih berat.
Tidak Sekadar Menghitung Jumlah
Kalau rakyat terus-menerus sakit hati dan menderita, sementara pemerintah hanya memperlihatkan kesejahteraan kepada segelintir orang yang korup, rencana militer melaksanakan operasi gerilya untuk melawan separatis akan sia-sia belaka.Ini merupakan anutan Jenderal (TNI) Abdul Haris Nasution (alm) dalam bukunya Pokok-pokok Perang Gerilya. Jenderal besar ini juga mengatakan, memakai kekuatan militer untuk melawan bangsa sendiri apalagi mereka mempunyai alasan yang pantas untuk tidak puas kepada pemerintah sentra merupakan problem bagi TNI.
Koruptor |
Penyelesaian konflik yang disebabkan ketidakpuasan politik, ideologi, ekonomi, dan sosial tidak bisa
semata hanya diselesaikan oleh operasi militer. Kemenangan menjadi tidak sekadar menghitung jumlah gerilyawan yang ditangkap, tewas, atau menghitung senjata yang disita.
Usai kemerdekaan, sejarah kita memang diwarnai jejeran pemberontakan yang dilatarbelakangi ketidakpuasan. Mulai dari DI/TII, PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan (RMS), PKI, sampai Timor Leste yang risikonya merdeka, GAM dan Papua merupakan formasi akhir ketidakpuasan terhadap pemerintah sentra yang diisi oleh para birokrat yang korup.
Militer menghadapi dilema, ibarat dikatakan A.H. Nasution. Namun, kembali ke kiprah mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka taktik kontra gerilya harus diterapkan melawan gerilya para pemberontak.
Menyenangkan hati rakyat biar berpihak kepada TNI, demikian taktik dasar perang kontra gerilya. Hanya dengan cara ini, perang melawan para gerilyawan yang bersandar pada derma masyarakat sanggup dimenangkan.
Apakah sehabis menang, Tentara Nasional Indonesia masih berpihak kepada rakyat atau tidak, tanda tanya besar masih muncul. (???????????)
Beberapa pemberontakan berhasil ditumpas dengan operasi militer. Walaupun makan banyak nyawa, kenyataannya operasi militer menumpas DI/TII., RMS, dan PRRI/Permesta serta PKI berhasil.
Letjen (Purn) Kemal Idris bercerita, Tentara Nasional Indonesia dulu sangat bersahabat dengan rakyat lantaran Tentara Nasional Indonesia menganggap dirinya kepingan dari rakyat dan berjuang untuk kepentingan rakyat.
”Kita mengajak rakyat untuk menghadapi DI/ TII dan PRRI/Permesta,” kata mantan Panglima Kostrad yang sebelumnya menjadi Komandan Brigade VII Siliwangi ketika penumpasan DI/ TII di Jawa Barat.
Senada dengan Kemal Idris, Letjen (Purn) Solihin G.P. mengatakan, Tentara Nasional Indonesia tidak akan bisa menjalankan tugasnya jikalau tidak berintegrasi dengan masyarakat.
Ia juga menceritakan masyarakat bersama tentara melaksanakan Operasi Pagar Betis sehingga pemberontakan Kartosuwirjo sanggup ditumpas sehabis berjalan lebih kurang tiga belas tahun (1949–1962).
Operasi kontragerilya, kata Solihin, pada pada dasarnya yakni memisahkan pasukan dari rakyat. Mantan
Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia Letjen Suaidi Marasabessy mengatakan, pemberontakan DI/TII dan PRRI/ Permesta sama metodenya dengan pemberontakan GAM yang memakai perlawanan bersenjata dengan gerilya.
Perbedaan dengan pemberontakan separatis yang lain, GAM banyak menyertakan usaha diplomasi untuk menarik simpati internasional. Tujuannya, internasionalisasi konflik yang menginginkan institusi internasional terlibat.
Untuk itu, Tentara Nasional Indonesia harus sanggup memetakan kekuatan GAM dan rakyat secara spesifik. Di sinilah inti perlawanan terhadap gerilya. Operasi ini dilakukan dengan operasi intelijen, termasuk di dalamnya operasi penggalangan, yaitu bagaimana mendekati rakyat dan memengaruhi pikiran dan emosi rakyat biar berpihak kepada NKRI.
Dalam kasus DI/TII, rakyat menjadi antipati terhadap DI/TII yang setahun sebelum selesai ditumpas mulai menculik, membunuh, dan menyiksa masyarakat.
Menurut mantan Panglima Kodam VII/Wirabuana ini, GAM telah memperlihatkan modus operandi yang sama sehingga secara militer GAM sudah bisa dibilang lemah lantaran menyimpang dari doktrin perang gerilya yang harus bersahabat dengan rakyat.
”Saya ingat bagaimana orang Makassar kaget waktu ada tentara dari Jawa menjadi imam di masjid,” kata pengamat militer Salim Said. Kehadiran Panglima Komando Pemulihan Keamanan Sulawesi Selatan Kolonel R. Sudirman merupakan sosok muslim yang taat cukup berhasil membantah opini yang disebarkan DI/TII.
Saat itu, Kahar Muzakar mengkampanyekan bahwa pasukan yang diperanginya yakni Tentara
Djawa Komunis (TDK). Rakyat Sulawesi Selatan menganggap lawannya sebagai si kafir dari Jawa.
Padahal, berdasarkan hasil penelitian Barbara Sillars Harvey, intelektual dari Cornell University, DI/TII di Sulawesi Selatan dimulai sebagai suatu perselisihan wacana status militer dan tuntutan keadilan.
Para gerilyawan Sulawesi Selatan yang ikut perang kemerdekaan tidak diterima masuk ke dalam Tentara Nasional Indonesia lantaran dianggap tidak memenuhi syarat, ibarat pendidikan formal.
Kahar Muzakar sebagai perwira paling senior menjadi pemimpin para pejuang ini dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS).
Menurut buku Barbara yang berjudul Pemberontakan Kahar Muzakkar dari Tradisi ke DI/TII, fotokopi surat-menyurat antara Kahar dan komandan Darul Islam di Jawa Barat, Sekarmadji Kartosuwirjo, menjadi bukti pengangkatan Kahar sebagai Panglima Divisi IV Tentara Islam Indonesia (TII).
Ideologi Islam diambil Kahar tidak lantaran latar belakang agama semata, tetapi juga pertimbangan derma darah biru yang banyak berjuang ketika itu. Pada bulan September 1952, Operasi Halilintar digelar.
Bersamaan dengan semakin banyaknya putra kawasan memegang banyak sekali jabatan strategis, dan tindakan DI/TII yang banyak memperabukan rumah dan kekerasan kepada rakyat, DI/TII mulai kehilangan pengaruhnya tahun 1962.
Akhirnya, Kahar Muzakar ditembak mati di bersahabat Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, 3 Februari 1965. Untuk mengecoh pemberontak, A.H. Nasution mengirim kawat bertuliskan pengiriman satu batalion, padahal yang dikirim hanya satu kompi RPKAD di bawah Letnan dua L.B. Moerdani.
Dalam pertempuran di luar Pematangsiantar, tewasnya Kopral Sihombing menjadi simbol bahwa perang itu bukan perang Sumatra lawan Jawa.
Hanya dua bulan sehabis proklamasi PRRI 15 Februari 1949, pemerintah risikonya menjalankan Operasi 17 Agustus, dengan Kolonel A. Yani sebagai komandan. Operasi sempat diduga bocor. Namun, A. Yani memutuskan operasi harus jalan terus.
Selanjutnya, Operasi Merdeka dilaksanakan untuk menguasai kembali wilayah Sulawesi Utara. Dukungan Amerika Serikat ketika itu tidak hanya melalui senjata, pelatih, bahkan juga siap serdadu terlatih, salah satu pola populer yakni penerbang asal Amerika Serikat, Allan Lawrence Pope, yang ditembak jatuh di atas perairan Teluk Ambon, 18 Mei 1958.
Usai merebut Pangkalan Udara Mapanget di bersahabat Manado, pasukan Indonesia kerap mengalami hujan tembakan artileri.
Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Prof. Dr. R.Z. Leirissa menyatakan, PRRI/Permesta dipicu oleh lemahnya perhatian pemerintah sentra atas kesejahteraan prajurit Tentara Nasional Indonesia eks pejuang kemerdekaan waktu itu.
Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati juga mencatat ketidakpuasan ekonomi akhir tata niaga kopra.
Dari pihak Permesta, ada Alex Kawilarang, Zulkifli Lubis, Mauluddin Simbolon, Achmad Hussein, Joop Warouw, dan Ventje Sumual.Sedang dari sentra terdiri atas Akhmad Yani, Rachmat Kartakusumah, Achmad Mokoginta, dan Chandra Hasan.
Leirissa mengungkapkan, jalannya penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta berlangsung tidak setegang operasi militer lain. ”Antara pasukan penumpas dan pasukan gerilyawan itu masih di antara kolega sendiri sesama korps. Jalannya penumpasan berlangsung lebih dengan perundingan-perundingan sehingga konflik senjata dan penumpahan darah terhindarkan,” katanya.
Begitu pun ketika risikonya Ahmad Yani sebagai komandan pasukan penumpas risikonya bisa bertemu, mereka saling mengolok kebodohan lawan dalam menerapkan strategi-strategi perang.
Seorang komandan pasukan pemberontak, misalnya, mengolok cara Yani yang memperlihatkan komando kepada pasukan penumpas dengan bahasa Jawa ketika penumpas bergerak di kawasan Padang, Sumatra Barat.
Tujuannya, supaya pasukan pemberontak yang bukan orang Jawa tidak memahami komunikasi radio itu. ”Eh, ternyata perwira radio pasukan pemberontak berasal dari Solo sehingga taktik Yani bocor,” kata Leirissa.
Dalam biografinya, A.H. Nasution menegaskan, kemenangan operasi militer menumpas agresor yakni kemampuan operasi itu mencapai kemenangan ideologi, sosial-ekonomi, dan psikologi rakyat.
Merujuk hal ini, tentu terlalu dangkal mendefinisikan keberhasilan operasi dari jumlah senjata yang disita atau jumlah gerilyawan yang dibunuh atau ditangkap.
Sumber: www.kompas.com
Post a Comment for "Koruptor: Penghianat Bangsa! (Refleksi 50 Tahun G 30 S/Pki)"