Latar Belakang Perang Aceh
Perang Aceh merupakan bab dari perlawanan terhadap pendudukan barat di Indonesia yang dipimpin oleh Cut Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia.
Traktat tersebut berisi bahwa pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris menerima kebebasan berdagang di daerah siak.
Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh alasannya Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat. Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke daerah Masjid Raya.
Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya sanggup direbut kembali oleh pasukan Aceh.
Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja.
Belanda tidak melaksanakan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Kegagalan-kegagalan tersebut menjadikan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham wacana agama Islam untuk mengadakan penelitian wacana kehidupan masyarakat Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers.
Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz.
Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh mengalah dan terbunuh.
Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Korte Verklaring).
Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung hingga tahun 1912.
Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan hingga menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
Sumber https://www.berpendidikan.com
Isi Traktat Sumatra
Pada tanggal 2 November 1871 Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang lalu menghasilkan Traktat Sumatra.Traktat tersebut berisi bahwa pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris menerima kebebasan berdagang di daerah siak.
Perang Aceh (1873 – 1904)
Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melaksanakan intervensi ke Kerajaan Aceh.Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh alasannya Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat. Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke daerah Masjid Raya.
Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya sanggup direbut kembali oleh pasukan Aceh.
Pemimpin perang Aceh
Daerah-daerah di daerah Aceh berdiri melaksanakan perlawanan. Para pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda ialah Cut Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia.Gambar: Cut Nya’Din |
Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja.
Belanda tidak melaksanakan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
Kegagalan-kegagalan tersebut menjadikan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham wacana agama Islam untuk mengadakan penelitian wacana kehidupan masyarakat Aceh.
Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers.
Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan.
Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz.
Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh mengalah dan terbunuh.
Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Korte Verklaring).
Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung hingga tahun 1912.
Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan hingga menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
Sumber https://www.berpendidikan.com
Post a Comment for "Latar Belakang Perang Aceh"