Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Adil Semenjak Dalam Pikiran

Bismillah. Sebelum membahas lebih jauh wacana adil atau keadilan, saya akan kutip sebuah kalimat dan jean marais. “ kita harus adil semenjak dalam pikiran” katanya. Kata-kata itu pula yang saya jadikan judul pada goresan pena ini. Jean Marais bukan tokoh yang sesungguhnya, alias fiktif. Saya kutip dari buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.

Secara bahasa, adil diambil dari bahasa arab ‘Adala yang makna harfiahnya sama, rata. Atau juga sama berat, tidak berat sebelah, seimbang. Keadilan pada makna bahasa ini berarti sama atau rata. Seperti seorang ibu yang memotong sebuah roti menjadi dua secara sama dan menawarkan kepada kedua anaknya. Secara kasat mata, seorang ibu itu disebut telah berlaku adil. Atau seorang ayah yang memberi kedua anaknya uang dengan jumlah yang sama, maka ayah tersebut sanggup dibilang telah berbuat adil.
Dalam Alqur’an, kata adil sanggup bermakna seimbang atau benar. Misalnya dalam konteks ayat 135 surat Annisa. Saya kutip teks arti ayatnya secara lengkap; “wahai orang-orang yang beriman jadilah kau penegak keadilan, menjadi saksi lantaran Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu”. Pada ayat tersebut, adil sanggup dimaknai dengan kejujuran, yaitu jujur dalam menjadi saksi bagi siapapun termasuk bagi diri sendiri atau keluarga sekalipun. Kemudian, keadilan juga sanggup dimaknai sebagai tidak pandang bulu; artinya, menyampaikan kebenaran, mengungkap kebenaran harus dilakukan meski kebenaran itu akan “merugikan” bagi dirinya atau bagi saudaranya atau bahkan bagi orangtuanya, bagi ibu dan bapaknya. Meski pahit berkata jujur dalam bersaksi, itu tetap harus dilakukan. Dan yang demikian itu yaitu adil.

Betapa islam sangat menjunjung tinggi nilai dan sikap adil, hatta terhadap diri sendiri. Beberapa pola wacana sikap adil yang ditampilkan oleh rasulullah sallallahu alaihi wasallam juga sanggup menjadi referensi bagi kita sebagai umatnya untuk sanggup meneladani beliau. Misalnya saja ketika rasulullah mengatakan, “jangankan orang lain, meskipun putriku Fatimah, bila dia mencuri, maka saya sendiri yang akan memotong tangannya”. Kata-kata rasulullah tersebut menyiratkan betapa disiplinnya nabi dalam menampilkan sikap adil. Sebab bagi beliau, hokum, kebenaran itu mutlak harus ditegakkan dan dihentikan tebas pilih. Rasul tidak lantas membiarkan keadilan dilukai hanya lantaran orang yang telah berlaku tidak adil itu yaitu saudaranya. Bahkan dalam dongeng yang sangat masyhur, kita juga sanggup mengakses pola sikap adil beliau. Misalnya, dongeng menjelang wafatnya beliau. Ketika dia meminta kepada semua sahabat yang hadir untuk menyampaikan seandainya saja dia punya hutang atau salah. Lalu salah satu sahabat angkat tangan dan menyampaikan bahwa Rasul telah dengan tidak sengaja memukul sahabat tersebut pada ketika perang, kemudian sahabat tersebut meminta Rasul untuk membuka bajunya bermaksud memukul dan mencambuk dia sebagai tanggapan atas kesalahan rasul yang tidak disengaja itu. Meski dongeng itu berlanjut dengan pelukan antara sahabat tersebut dengan Rasul, namun itu memperlihatkan betapa rasul amat sangat menjaga kebenaran, dan berbuat seadil adilnya.

Ada beberapa catatan penulis mengenai sifat adil dalam pandangan islam. Ini semua merujuk pada pandangan Alqur’an yaitu surat Almaidah ayat 8. Saya kutip artinya secara penuh. “wahai orang-orang yang beriman, Jadilah kau sebagai penegak keadilan lantaran Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kau untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih akrab dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kau kerjakan”.

Dari ayat Alqur’an tersebut, kita sanggup menarik beberapa kesimpulan, diantaranya sama dengan Alqur’an Surat Annisa ayat 135, bahwa seorang yang beriman harus menegakkan keadilan salah satunya dengan cara menjadi saksi terhadap suatu duduk masalah dengan mengedepankan keadilan. Selanjutnya—ini yang menjadi catatan penting saya—bahwa dihentikan berlaku dzalim kepada siapapun hanya lantaran didasari oleh kebencian.

Untuk kalimat terakhir, sanggup kita rasakan dan kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang melaksanakan tindakan tidak adil atau dzalim kepada oranglain yang didasari oleh perasaan tidak suka, perasaan benci. Perasaan inilah yang tanpa disadari acapkali mengaburkan mata hati, memburamkan logika dan kecerdikan sehat, sehingga banyak pula orang yang terjerumus mengambil tindakan sembrono dengan melaksanakan ketidakadilan terhadap orang lain atau suatu kaum. Misalnya saja, seorang bupati atau jabatan pemimpin lain, masih ada saja yang melaksanakan ketidakadilan dengan cara menawarkan jadwal pembangunan atau santunan hanya kepada basis pendukungnya dahulu ketika pencalonan, sementara masyarakat yang dulunya tidak mendukung diabaikan, atau bahkan dibiarkan terlantar. Sebuah jadwal pemerintah yang terperinci hanya berpihak pada masyarakat tertentu dan mengabaikan sebagian masyarakat lainnya. Itu yaitu pola ketidakadilan dalam lingkungan pemerintahan. Seharusnya, seorang pemimpin yang adil tentu tidak akan membedakan mana masyarakat yang mendukung dan memilihnya dulu dan mana masyarakat yang tidak mendukungnya. Semua jadwal pemerintah dibagikan sama rata ke seluruh pelosok, ke seluruh lapisan masyarakat baik yang mendukung dia maupun yang tidak. Sebab—lagi-lagi—keadilan mensyaratkan kesamaan, sama rata sama bagian.

Selain dari itu, bekerjsama bila kita telaah keadilan dari hal yang terkecil sekalipun, kita akan banyak mendapatkan pola ketidakadilan. Misalnya saja keadilan bagi diri sendiri, bagi tubuh dan tubuh sendiri. Keadilan macam ini sanggup digambarkan dengan seseorang yang menawarkan waktu istirahat bagi anggota badannya yang seharian dipakai untuk bekerja. Mata yang seharian lelah dengan pekerjaan. Tangan dan kaki pun yang seharian dipakai untuk bekerja. Ada saatnya mata, tangan, dan kaki untuk beristirahat lantaran itu yaitu haknya. Dari perspektif akseptor keadilan, makna keadilan sanggup diartikan sebagai terpenuhinya hak-hak.

Terhadap Tuhan, Allah Swt, keadilan seorang makhluk terhadap khaliqnya sanggup diejawantahkan dalam pelaksanaan ibadah seorang hamba terhadap Tuhan. Keadilan dalam hal ini dimaknai sebagai pemenuhan kewajiban atau pemenuhan Hak bagi yang mendapatkan keadilan itu. Sudah sepantasnya sebagai hamba Allah beribadah hanya kepada Allah, menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Itu tentu patut dan sanggup dibilang adil. Sebaliknya, ketika seseorang tidak memenuhi kewajibannya sebagai Hamba Allah untuk beribadah, itu berarti pula bahwa ia telah berlaku dzalim terhadap dirinya dan terhadap Allah tuhannya.

Makna lain dari keadilan juga sanggup diambil dari definisi bahasa Arab. Al-‘adlu hiya wad’u Syai’in mahallahu”. Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Memosisikan sesuatu pada posisi yang sesungguhnya. Contoh ringan, menempatkan sandal pada kaki, menempatkan kopiah pada kepala. Tidak lantas terbalik. Jika seseorang menempatkan sandal di kepala dan menempatkan kopiah di kaki itu tanda bahwa orang tersebut telah berlaku dzalim. Dalam terminology modern, definisi arab tersebut relevan. Pada terminology modern adil sanggup juga dimaknai tidak sama rata atau sama berat, tetapi sama fungsi atau efektif. Ini disebut dengan keadilan distributive. Misalnya saja, seorang adik abang yang berbeda usia dan jenjang pendidikan. Si adik kelas 1 Sekolah dasar dan si abang kelas sepuluh sekolah kejuruan. Tentu keduanya berbeda dalam hal kebutuhan. Si adik mungkin cukup dengan uang jajan lima ribu rupiah, namun si abang mungkin minimal uang jajan lima belas ribu rupiah. Sebab kebutuhan keduanya berbeda. Si abang membutuhkan lebih banyak uang untuk pemenuhan kiprah sekolah dan ongkos angkot atau bensin, sementara si adik cukup jalan kaki dan jajan cemilan. Seorang ayah atau ibu yang menawarkan uang jajan berbeda kepada kedua anaknya melihat dari fungsi uang tersebut tentu itu sanggup dibilang bahwa orangtua tersebut telah berlaku adil.

Ala Kulli hal, beberapa pemaparan tadi dikaitkan dengan judul goresan pena ini yaitu bahwa ketidakadilan merupakan produk pemikiran. anutan yaitu hasil dari pemahaman dan paradigma seseorang. oleh lantaran itu, upaya membangun keadilan dalam diri masing-masing muslim harus dimulai dari membiasakan keadilan dalam berpikir. Sebab secara logika, bagaimana mungkin sanggup berlaku adil bila dalam pikiran saja sudah sulit untuk adil. Wallahu a'lam. (asep saepulah)

x

Sumber http://www.panduankimia.net

Post a Comment for "Adil Semenjak Dalam Pikiran"