Inkonsistensi Penerapan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah
Tuntutan pemekaran tempat menjadi salah satu informasi hangat yang muncul di tengah maraknya pelaksanaan otonomi daerah. Maraknya tuntutan pemekaran sendiri tidak lepas dari kebijakan otonomi tempat dari pemerintah pusat.
Terlebih, kenyataan bahwa otonomi tempat juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah menciptakan tuntutan ini semakin menarik.
Lebih jauh lagi, menyerupai yang termaktub dalam pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 129/2000 disebutkan tujuan-tujuan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam pasal itu, dikatakan pembentukan, pemekaran, peniadaan dan penggabungan tempat ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; serta peningkatan relasi yang harmonis antara sentra dan daerah.
Di sisi lain, maraknya tuntutan pemekaran tempat pun tidak luput dari konflik, menyerupai konflik yang terjadi antara warga dan abdnegara keamanan di Kota Banggai, Kabupaten Bangkep, Sulawesi Tengah.
Bentrokan, 28 Februari 2007 yang mengakibatkan empat orang tewas terjadi alasannya warga menolak pemindahan ibu kota kabupaten dari Banggai ke Salakan.
Dengan demikian, tuntutan pemekaran tempat merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama berkaitan dengan efek yang ditimbulkannya.
Otonomi tempat yang telah diatur dalam undangundang semenjak 1999 pun dalam pelaksanaannya tidak luput dari masalah. Masalah yang paling akut ialah korupsi.
Masalah lain yang tidak kalah memprihatinkannya ialah PP Nomor 37/2006 yang memperlihatkan ketidakpekaan para anggota DPRD, terutama berkaitan dengan rapel pertolongan kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi mereka di tengah banyak sekali krisis yang dialami masyarakat.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya memprihatinkan, tetapi mengenaskan alasannya memperlihatkan kegagalan otonomi tempat dan ketidaksiapan para pelakunya dalam menjalankan amanat yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, otonomi tempat maupun pemekaran tempat tidak selalu menjanjikan jalan yang terbaik dalam menuntaskan permasalahan kesejahteraan rakyat di daerah. Masalah lain yang tidak kalah peliknya ialah dilema keamanan dan ketertiban.
Dengan kata lain, pemekaran tempat sebagai wujud dari penerapan demokrasi tetap tidak luput baik dari konflik horizontal antarwarga tempat pemekaran terkait, maupun konflik kepentingan yang melibatkan kelompok-kelompok elite, menyerupai dari kalangan politik maupun ekonomi yang berkepentingan atas tempat pemekaran yang bersangkutan.
Berlarut-larutnya dilema di tempat pemekaran juga tidak lepas dari kenyataan akan penerapan kebijakan otonomi tempat yang masih setengah hati. Hal ini terkait tidak hanya dengan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah tempat yang bersangkutan.
Menghangatnya informasi pemekaran tempat juga terkait akrab dengan penerapan kebijakan otonomi tempat yang rentan terhadap beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan, menyerupai konflik pilkada; korupsi; konflik horizontal antarwarga berkaitan dengan pemekaran; hingga dengan dilema inkonsistensi pemerintah sentra dalam mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah.
Pada abad reformasi dan demokratisasi, rasanya janggal jikalau pemerintah sentra masih mencampuri urusan pemerintah daerah.
Dua dilema yang sanggup ditangkap dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, inkonsistensi pemerintah sentra dalam memperlihatkan keleluasaan pemerintah daerah.
Kedua, kegagalan pemerintah tempat dalam menjalankan fungsi otonomi tempat dalam rangka memperlihatkan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dilema pertama tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah sentra terhadap kecenderungan pemerintah tempat untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada federalisme, dengan penerapan wewenang otonomi tempat yang leluasa.
Misalnya peraturan tempat yang mewajibkan zakat bagi pegawai negeri sipil yang dilakukan melalui pemotongan gaji; kebijakan dalam bidang perdagangan yang eksklusif; dilema pembagian keuangan pemerintah sentra dan tempat dengan proporsi yang kontroversial.
Pada satu sisi, penerapan kebijakan otonomi tempat diarahkan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, di sisi lain disadari atau tidak impian pemerintah sentra untuk mencampuri urusan penyelenggaraan tempat menjadi indikator yang tidak aman bagi konsistensi penerapan otonomi tempat di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah tempat mencicipi adanya inkonsistensi dalam penerapan wewenang yang mereka miliki.
Dikutip secara bebas dari artikel Adinda Tenriangke Muchtar dalam www.kemitraan.or.id
Sumber https://www.berpendidikan.com
Terlebih, kenyataan bahwa otonomi tempat juga melibatkan distribusi dana dalam jumlah yang cukup besar juga telah menciptakan tuntutan ini semakin menarik.
Undang-undang otonomi daerah
Undang-Undang No. 32/2004 wacana Pemda menyebutkan bahwa pemekaran sanggup dilakukan jikalau memenuhi tiga syarat, yaitu teknis, wilayah, dan administratif.Lebih jauh lagi, menyerupai yang termaktub dalam pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 129/2000 disebutkan tujuan-tujuan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Dalam pasal itu, dikatakan pembentukan, pemekaran, peniadaan dan penggabungan tempat ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini dilakukan di antaranya melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat; percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; peningkatan keamanan dan ketertiban; serta peningkatan relasi yang harmonis antara sentra dan daerah.
Otonomi Daerah |
Bentrokan, 28 Februari 2007 yang mengakibatkan empat orang tewas terjadi alasannya warga menolak pemindahan ibu kota kabupaten dari Banggai ke Salakan.
Dengan demikian, tuntutan pemekaran tempat merupakan hal yang harus dipertimbangkan dengan hati-hati, terutama berkaitan dengan efek yang ditimbulkannya.
Otonomi tempat yang telah diatur dalam undangundang semenjak 1999 pun dalam pelaksanaannya tidak luput dari masalah. Masalah yang paling akut ialah korupsi.
Masalah lain yang tidak kalah memprihatinkannya ialah PP Nomor 37/2006 yang memperlihatkan ketidakpekaan para anggota DPRD, terutama berkaitan dengan rapel pertolongan kenaikan tunjangan operasional dan komunikasi mereka di tengah banyak sekali krisis yang dialami masyarakat.
Kasus-kasus tersebut tidak hanya memprihatinkan, tetapi mengenaskan alasannya memperlihatkan kegagalan otonomi tempat dan ketidaksiapan para pelakunya dalam menjalankan amanat yang digariskan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian, otonomi tempat maupun pemekaran tempat tidak selalu menjanjikan jalan yang terbaik dalam menuntaskan permasalahan kesejahteraan rakyat di daerah. Masalah lain yang tidak kalah peliknya ialah dilema keamanan dan ketertiban.
Dengan kata lain, pemekaran tempat sebagai wujud dari penerapan demokrasi tetap tidak luput baik dari konflik horizontal antarwarga tempat pemekaran terkait, maupun konflik kepentingan yang melibatkan kelompok-kelompok elite, menyerupai dari kalangan politik maupun ekonomi yang berkepentingan atas tempat pemekaran yang bersangkutan.
Berlarut-larutnya dilema di tempat pemekaran juga tidak lepas dari kenyataan akan penerapan kebijakan otonomi tempat yang masih setengah hati. Hal ini terkait tidak hanya dengan pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah tempat yang bersangkutan.
Menghangatnya informasi pemekaran tempat juga terkait akrab dengan penerapan kebijakan otonomi tempat yang rentan terhadap beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di lapangan, menyerupai konflik pilkada; korupsi; konflik horizontal antarwarga berkaitan dengan pemekaran; hingga dengan dilema inkonsistensi pemerintah sentra dalam mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah.
Pada abad reformasi dan demokratisasi, rasanya janggal jikalau pemerintah sentra masih mencampuri urusan pemerintah daerah.
Dua dilema yang sanggup ditangkap dalam pelaksanaan otonomi daerah. Pertama, inkonsistensi pemerintah sentra dalam memperlihatkan keleluasaan pemerintah daerah.
Kedua, kegagalan pemerintah tempat dalam menjalankan fungsi otonomi tempat dalam rangka memperlihatkan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat.
Dilema pertama tidak lepas dari kekhawatiran pemerintah sentra terhadap kecenderungan pemerintah tempat untuk mengambil kebijakan yang mengarah pada federalisme, dengan penerapan wewenang otonomi tempat yang leluasa.
Misalnya peraturan tempat yang mewajibkan zakat bagi pegawai negeri sipil yang dilakukan melalui pemotongan gaji; kebijakan dalam bidang perdagangan yang eksklusif; dilema pembagian keuangan pemerintah sentra dan tempat dengan proporsi yang kontroversial.
Pada satu sisi, penerapan kebijakan otonomi tempat diarahkan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Akan tetapi, di sisi lain disadari atau tidak impian pemerintah sentra untuk mencampuri urusan penyelenggaraan tempat menjadi indikator yang tidak aman bagi konsistensi penerapan otonomi tempat di Indonesia.
Pada sisi lain, pemerintah tempat mencicipi adanya inkonsistensi dalam penerapan wewenang yang mereka miliki.
Dikutip secara bebas dari artikel Adinda Tenriangke Muchtar dalam www.kemitraan.or.id
Post a Comment for "Inkonsistensi Penerapan Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah"