Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

5 Penyimpangan Sistem Tanam Paksa

Pada perjalanannya sistem tanam paksa terjadi penyimpangan-penyimpangan walaupun disana ada beberapa sisi positifnya.

Untuk mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan diri pada sistem tradisional dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa.

Para bupati sebagai mediator tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda. Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan hukum yang baik.

Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.

Penyimpangan Sistem Tanam Paksa

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.

1) Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.

2) Tanah yang ditanami tumbuhan wajib tetap ditarik pajak.

3) Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.

4) Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.

5) Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.

Dalam pelaksanaannya, tanam paksa banyak mengalami penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

Penyimpangan ini terjadi alasannya penguasa lokal, tergiur oleh komitmen Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten.

penyimpangan walaupun disana ada beberapa sisi positifnya 5 Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
Gambar: Pengaruh Positif sistem tanam paksa

Cultuur procenten atau prosenan tanaman 

Cultuur procenten atau prosenan tanaman ialah hadiah dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang sanggup menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan sempurna waktu.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi gulung tikar dan menderita.

Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan menjadikan ajal penduduk meningkat.

Adanya informasi kelaparan mengakibatkan aneka macam reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil.

Penyebabnya bergerak sendiri-sendiri secara sporadis dan tidak terorganisasi secara baik. Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya kontradiksi dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.

Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi ihwal keadaan pemerintahan kolonial yang bersifat menindas dan korup di Jawa.

Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Menghadapi aneka macam reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 menurut UU Landreform (UU Agraria).

Pengaruh positif sistem tanam paksa

Meskipun tanam paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga menawarkan imbas yang positif terhadap rakyat, yaitu:

1) terbukanya lapangan pekerjaan,

2) rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru, dan

3) rakyat mengenal cara menanam yang baik.


Sumber https://www.berpendidikan.com

Post a Comment for "5 Penyimpangan Sistem Tanam Paksa"